Jakarta (ANTARA News) - Ledakan tabung gas telah memakan banyak korban. Itu musibah yang sangat tragis dan memilukan. Ibu-ibu rumah tangga ketakutan. Mereka membuang tabung gas yang dulu diberikan pemerintah secara gratis dalam program konversi minyak tanah ke gas.
Secara demonstratif, di depan kamera televisi, sejumlah ibu menggelindingkan puluhan tabung gas 3 kg di tengah jalan dalam sebuah unjuk rasa di Jakarta. Tabung gas mirip buah melon warna hijau itu ditempeli tulisan yang menyeramkan: BOM!
Pesan yang ingin disampaikan adalah ledakan tabung gas itu sama dengan teror. Kehancuran yang ditimbulkannya sangat tragis dan memilukan.
Seorang anak bernama Ridho, korban ledakan gas, dengan muka dan sekujur tubuh penuh luka bakar, dibawa ibunya ke Istana Presiden. Ibu dan anak yang datang dari Jawa Timur itu, dengan berurai air mata, meminta bantuan Presiden SBY. Petugas Istana mengantar Ridho ke Pertamina.
Televisi melihat sebuah drama. Ridho dibawa ke RSCM dan ditayangkan di televisi. Pemirsa menangis. Sumbangan berdatangan. Pejabat dan tokoh ramai besuk ke rumah sakit. Dengan bantuan masyarakat dan pemerintah, Ridho akhirnya bisa dirawat untuk diatasi luka bakarnya.
Selain mengangkat kasus Ridho, stasiun televisi juga menayangkan korban-korban lain yang tidak kalah memilukannya. TVOne, misalnya, mendatangkan ke studio seorang bayi berumur sekitar satu bulan. Si bayi di operasi caesar dari ibunya yang sekarat akibat ledakan tabung gas 12 kg yang menghancurleburkan rumahnya di Tangerang. Bayi wanita itu begitu lahir sudah sebatang kara. Ayah, ibu dan kakaknya, tewas akibat ledakan tabung gas.
Ini betul-betul fakta. Bukan infotainment yang dinilai sensasional dan berlebihan. Sejak Juni 2010 terjadi setidaknya 33 ledakan tabung gas ukuran 3 kg. Saking maraknya, seorang profesor menulis artikel opini di suratkabar dengan judul bombastis: "Tabung Gas: Teroris Baru Indonesia".
Tabung gas telah menjelma menjadi momok yang menakutkan. Trauma itu telah membuat masyarakat ingin kembali ke minyak tanah.
Salah kaprah
Kecenderungan ini salah kaprah. Bolehlah menganggap tabung gas sebagai teroris. Itu diakui sangat mencekam dan menakutkan. Sebab, kalau tidak dicegah dan dilakukan berbagai antisipasi, ledakan tabung gas akan memakan korban jauh lebih banyak lagi.
Tapi bukan berarti dengan maraknya ledakan, lalu program konversi gas dianggap gagal dan perlu dihentikan.
Konversi gas adalah jalan keniscayaan. Hampir semua negara di dunia, kecuali sebuah negara di Afrika yang masih mempertahankan penggunaan minyak tanah, telah beralih ke gas.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan program konversi minyak tanah ke gas sejak tiga tahun lalu sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah yang ingin mengurangi subsidi BBM. Pemerintah waktu itu sangat yakin gas lebih murah dan aman dibanding minyak tanah.
Keamanan penggunaan gas itu bisa dibuktikan dengan statistik bahwa dalam tiga tahun hanya terjadi 36 kali ledakan gas dari 70 juta tabung gas. Ini berarti, dari setiap dua juta tabung, hanya satu yang meledak.
Angka ini kalah dramatis dari kecelakaan akibat listrik. Di Jakarta saja, dalam setahun ada 600 hingga 800 kali kebakaran akibat korsleting listrik. Dahulu, waktu minyak tanah menjadi primadona, jumlah kasus kebakaran akibat kompor mleduk lebih banyak lagi.
Jadi, keinginan kembali ke minyak tanah, adalah langkah sangat mundur. Beban pemerintah sangat berat karena harus mengeluarkan subsidi yang mencapai nilai Rp50 triliun. Kini, penggunaan gas sudah meringankan beban subsidi itu.
Kalau pun ada masalah, cara penanganannya yang harus diperbaiki. Tidak ada energi yang bebas dari resiko. Jadi, bukan konversinya yang dipersoalkan, tapi adalah cara pemakaian dan pengamanannya yang harus dicarikan solusinya. Ledakan tabung gas, tidak boleh menghentikan program konversi gas.
Harus dievaluasi
Program konversi gas ke depan harus dievaluasi dengan matang. Faktor keamanan dan keselamatan harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai ada kesan, konversi gas hanya untuk solusi pragmatis, yaitu mengurangi subsidi BBM.
Pemerintah, aparat, dan semua pihak harus berusaha agar ledakan tabung gas tidak boleh terjadi lagi. Jangan lagi ada nyawa melayang akibat tabung melon yang meledak.
Untuk itu, pengawasan harus diperketat. Mulai dari pengadaan tabung gas, pengisian maupun agen. Operasi-operasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian membuktikan banyak tabung gas yang tidak sesuai standar. Aparat juga menemukan kecurangan dalam pengisian yang tidak sesuai dengan berat yang tertera dalam tabung.
Satu hal penting lagi adalah jangan pernah menyepelekan masalah sosialisasi. Seolah-olah jika sudah mengumumkan ke media massa unsur masyarakat akan mengerti dan selanjutnya mendukung program konversi tersebut. Masyarakat jadi lalai jika pada saat tertentu selang harus diganti.
Ini karena sosialisasi tidak terlaksana dengan baik. Akibatnya harus dibayar dengan mahal. Kelalaian mengganti selang tersebut membuat tabung menjadi bocor sehingga terjadi ledakan yang membahayakan.
Jadi, ledakan tabung gas itu sebetulnya resiko yang bisa diatasi dan dicegah seminimal mungkin. Jika pengamanan, pengawasan, dan sosialisasi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tentu tabung gas bukan teroris baru di Indonesia.
Tabung gas bukan sebuah astagfirullah, tetapi sebuah berkah yang harus disambut dengan alhamdullilah.
Sampai saat ini konversi minyak tanah ke gas sudah menyelamatkan subsidi sebesar Rp50 triliun. Jelas manfaat konversi gas lebih besar dari mudharatnya.
Oleh karena itu, ledakan tabung melon tidak boleh menghentikan program konversi minyak tanah ke gas.
Ledakan itu harus dicegah. Pengamanan diperkuat. Pengawasan diperketat. Sosialisasi ditingkatkan. Bukan konversi gasnya yang dihentikan. (*)
Secara demonstratif, di depan kamera televisi, sejumlah ibu menggelindingkan puluhan tabung gas 3 kg di tengah jalan dalam sebuah unjuk rasa di Jakarta. Tabung gas mirip buah melon warna hijau itu ditempeli tulisan yang menyeramkan: BOM!
Pesan yang ingin disampaikan adalah ledakan tabung gas itu sama dengan teror. Kehancuran yang ditimbulkannya sangat tragis dan memilukan.
Seorang anak bernama Ridho, korban ledakan gas, dengan muka dan sekujur tubuh penuh luka bakar, dibawa ibunya ke Istana Presiden. Ibu dan anak yang datang dari Jawa Timur itu, dengan berurai air mata, meminta bantuan Presiden SBY. Petugas Istana mengantar Ridho ke Pertamina.
Televisi melihat sebuah drama. Ridho dibawa ke RSCM dan ditayangkan di televisi. Pemirsa menangis. Sumbangan berdatangan. Pejabat dan tokoh ramai besuk ke rumah sakit. Dengan bantuan masyarakat dan pemerintah, Ridho akhirnya bisa dirawat untuk diatasi luka bakarnya.
Selain mengangkat kasus Ridho, stasiun televisi juga menayangkan korban-korban lain yang tidak kalah memilukannya. TVOne, misalnya, mendatangkan ke studio seorang bayi berumur sekitar satu bulan. Si bayi di operasi caesar dari ibunya yang sekarat akibat ledakan tabung gas 12 kg yang menghancurleburkan rumahnya di Tangerang. Bayi wanita itu begitu lahir sudah sebatang kara. Ayah, ibu dan kakaknya, tewas akibat ledakan tabung gas.
Ini betul-betul fakta. Bukan infotainment yang dinilai sensasional dan berlebihan. Sejak Juni 2010 terjadi setidaknya 33 ledakan tabung gas ukuran 3 kg. Saking maraknya, seorang profesor menulis artikel opini di suratkabar dengan judul bombastis: "Tabung Gas: Teroris Baru Indonesia".
Tabung gas telah menjelma menjadi momok yang menakutkan. Trauma itu telah membuat masyarakat ingin kembali ke minyak tanah.
Salah kaprah
Kecenderungan ini salah kaprah. Bolehlah menganggap tabung gas sebagai teroris. Itu diakui sangat mencekam dan menakutkan. Sebab, kalau tidak dicegah dan dilakukan berbagai antisipasi, ledakan tabung gas akan memakan korban jauh lebih banyak lagi.
Tapi bukan berarti dengan maraknya ledakan, lalu program konversi gas dianggap gagal dan perlu dihentikan.
Konversi gas adalah jalan keniscayaan. Hampir semua negara di dunia, kecuali sebuah negara di Afrika yang masih mempertahankan penggunaan minyak tanah, telah beralih ke gas.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan program konversi minyak tanah ke gas sejak tiga tahun lalu sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah yang ingin mengurangi subsidi BBM. Pemerintah waktu itu sangat yakin gas lebih murah dan aman dibanding minyak tanah.
Keamanan penggunaan gas itu bisa dibuktikan dengan statistik bahwa dalam tiga tahun hanya terjadi 36 kali ledakan gas dari 70 juta tabung gas. Ini berarti, dari setiap dua juta tabung, hanya satu yang meledak.
Angka ini kalah dramatis dari kecelakaan akibat listrik. Di Jakarta saja, dalam setahun ada 600 hingga 800 kali kebakaran akibat korsleting listrik. Dahulu, waktu minyak tanah menjadi primadona, jumlah kasus kebakaran akibat kompor mleduk lebih banyak lagi.
Jadi, keinginan kembali ke minyak tanah, adalah langkah sangat mundur. Beban pemerintah sangat berat karena harus mengeluarkan subsidi yang mencapai nilai Rp50 triliun. Kini, penggunaan gas sudah meringankan beban subsidi itu.
Kalau pun ada masalah, cara penanganannya yang harus diperbaiki. Tidak ada energi yang bebas dari resiko. Jadi, bukan konversinya yang dipersoalkan, tapi adalah cara pemakaian dan pengamanannya yang harus dicarikan solusinya. Ledakan tabung gas, tidak boleh menghentikan program konversi gas.
Harus dievaluasi
Program konversi gas ke depan harus dievaluasi dengan matang. Faktor keamanan dan keselamatan harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai ada kesan, konversi gas hanya untuk solusi pragmatis, yaitu mengurangi subsidi BBM.
Pemerintah, aparat, dan semua pihak harus berusaha agar ledakan tabung gas tidak boleh terjadi lagi. Jangan lagi ada nyawa melayang akibat tabung melon yang meledak.
Untuk itu, pengawasan harus diperketat. Mulai dari pengadaan tabung gas, pengisian maupun agen. Operasi-operasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian membuktikan banyak tabung gas yang tidak sesuai standar. Aparat juga menemukan kecurangan dalam pengisian yang tidak sesuai dengan berat yang tertera dalam tabung.
Satu hal penting lagi adalah jangan pernah menyepelekan masalah sosialisasi. Seolah-olah jika sudah mengumumkan ke media massa unsur masyarakat akan mengerti dan selanjutnya mendukung program konversi tersebut. Masyarakat jadi lalai jika pada saat tertentu selang harus diganti.
Ini karena sosialisasi tidak terlaksana dengan baik. Akibatnya harus dibayar dengan mahal. Kelalaian mengganti selang tersebut membuat tabung menjadi bocor sehingga terjadi ledakan yang membahayakan.
Jadi, ledakan tabung gas itu sebetulnya resiko yang bisa diatasi dan dicegah seminimal mungkin. Jika pengamanan, pengawasan, dan sosialisasi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tentu tabung gas bukan teroris baru di Indonesia.
Tabung gas bukan sebuah astagfirullah, tetapi sebuah berkah yang harus disambut dengan alhamdullilah.
Sampai saat ini konversi minyak tanah ke gas sudah menyelamatkan subsidi sebesar Rp50 triliun. Jelas manfaat konversi gas lebih besar dari mudharatnya.
Oleh karena itu, ledakan tabung melon tidak boleh menghentikan program konversi minyak tanah ke gas.
Ledakan itu harus dicegah. Pengamanan diperkuat. Pengawasan diperketat. Sosialisasi ditingkatkan. Bukan konversi gasnya yang dihentikan. (*)
0 komentar:
Posting Komentar